Kamis, 27 Mei 2010
Pernikahan adalah salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada
laki-laki dan perempuan dengan kadar yang sama dan berimbang, ia
adalah wujud kecintaan, kasih sayang, mementingkan pasangan, saling
memberi dan menerima, hal itu terbaca jelas dalam firman Allah
Subhanahu waTa'ala artinya, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya
ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS.
ar-Rum: 21).
Demi menjaga kelanggengan kasih sayang dan hubungan baik antara suami
istri maka Allah meletakkan hak bagi masing-masing atas pasangannya.
Firman Allah Subhanahu waTa'ala, artinya, "Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya." (QS. al-Baqarah: 228).
Istri mempunyai hak-hak atas suami yang tidak sedikit yang wajib
diberikan oleh suami kepadanya, jika suami tidak menunaikannya, maka
hal itu dianggap sebagai dosa dan kemaksiatan yang tidak ringan di
sisi Allah. Sebaliknya suami memiliki hak-hak atas istri sebanding
dengan hak istri atas suami, di antara hak-hak suami adalah hendaknya
seorang wanita muslimah menjadi istri yang patuh dan taat kepada
suaminya dengan menunaikan hak-haknya sebaik-baiknya.
Besarnya hak suami atas istri
Hak suami atas istri adalah besar, kedudukannya di hadapannya adalah
agung, hal itu tergambar dengan jelas melalui:
A.Perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada istri agar
bersujud kepada suami seandainya makhluk boleh bersujud kepada
makhluk.
Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda,"Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud
kepada orang lain niscaya aku memerintahkan istri agar bersujud kepada
suaminya." (HR. at-Tirmidzi)
B. Murka yang di langit kepada istri yang menolak permintaan suami
untuk bermesraan, murka ini redah jika suami ridha kepada istri.
Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallambersabda, "Demi dzat yang jiwaku berada ditanganNya,
tidak ada seorang suami mengajak istri ke ranjangnya lalu istrinya
menolaknya kecuali yang di langit memurkainya sehingga suami ridha
kepadanya ."
C. Penunaian ibadah-ibadah sunnah oleh istri bergantung kepada izin
suami, jika ibadah-ibadah tersebut menghalangi hak suami.
Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallambersabda, "Tidak halal bagi wanita berpuasa sementara
suaminya hadir kecuali dengan izinnya. Dan hendaknya dia tidak
mengizinkan di rumahnya kecuali dengan izinnya."
Khusus dalam hal ini terdapat teladan dari Aisyah radiyallahu 'anha
istri Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam, Aisyah berkata, "Aku
pernah berhutang puasa Ramadhan, aku baru bisa melunasinya di bulan
Sya'ban hal itu karena kedudukan Rasulullahshallallahu 'alaihi
wasallam." (HR. Jamaah).
D. Menghadirkan seseorang di rumah suami bergantung kepada restu suami.
Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu di atas, "Dan
hendaknya dia tidak mengizinkan di rumahnya kecuali dengan izinnya."
E. Izin khulu' -menuntut berpisah dari istri dengan membayar iwadh
(ganti rugi)- dalam kondisi istri takut tidak mampu menunaikan hak-hak
suami seperti yang dilakukan oleh istri Tsabit bin Qais.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbasz berkata, istri Tsabit bin
Qais datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dia
berkata, "Ya Rasulullah, aku tidak membenci agama dan akhlak Tsabit,
hanya saja aku takut kufur dalam Islam." Rasulullahshallallahu 'alaihi
wasallam bertanya, "Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya kepadanya?"
Dia menjawab, "Ya." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meminta
Tsabit berpisah darinya.
Apa yang dilakukan istri Tsabit ini merupakan tindak lanjut dari
firman Allah Subhanahu waTa'ala, artinya, "Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya." (QS. al-Baqarah: 229).
F. Ihdad (berkabung) hanya boleh tiga hari tetapi untuk suami
-maksudnya jika suami yang meninggal- maka masa ihdad lebih panjang
yaitu empat bulan sepuluh hari. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir berihdad atas mayit lebih dari tiga malam
kecuali atas suami yaitu empat bulan sepuluh hari." (Muttafaq alaihi).
G. Tatanan iddah (masa tunggu) bagi istri yang berpisah dari suami, di
mana dalam masa ini istri belum boleh menerima lamaran dari orang lain
karena hak suami dan suami tetap dinamakan suami yang memegang hak
rujuk jika berpisahnya masih memungkinkan untuk rujuk. firman Allah
Subhanahu waTa'ala, artinya, "Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah." (QS. al-Baqarah: 228).
Keutamaan taat kepada suami
Suami muslim sebagai penanggungjawab rumah tangga mendambakan
kehidupan rumah tangga yang tenteram, diliputi dengan cinta dan kasih
sayang demi mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh anggota rumah tangga
dan salah satu faktor penting dalam mewujudkan hal tersebut adalah
kepatuhan dan ketaatan seorang istri muslimah kepada suaminya setelah
ketaatannya kepada Allah Subhanahu waTa'ala dan RasulNya.
Bisa dibayangkan bagaimana keadaan rumah tangga seandainya istri tidak
taat dan patuh kepada suami, kebahagiaan yang diimpikan akan lenyap,
kegembiraan yang didambakan akan terkubur dan kasih sayang yang
diharapkan tumbuh subur akan layu untuk selanjutnya mati tergantikan
oleh percekcokan, perselisihan dan pertengkaran. Hal ini dipicu oleh
-salah satunya- keengganan dan penolakan istri untuk taat kepada
suaminya.
Keutuhan rumah tangga sangat diperhatikan oleh Islam, karena
bagaimanapun rumah tangga yang utuh jauh lebih baik dari pada rumah
tangga yang bubar di tengah jalan, dari sini kita memahami ketika
talak diizinkan, ia diizinkan dalam kondisi dharurat dan itu pun demi
kebaikan dan kemaslahatan suami dan istri. Demi menjaga keutuhan rumah
tangga ini, Islam meletakkan batasan-batasan hak dan kewajiban bagi
dan atas suami istri, misalnya dari sisi istri, dia memiliki kewajiban
taat dan patuh kepada suaminya.
Jangan salah paham ketika istri diharuskan taat kepada suami setelah
ketaatannya kepada Allah Subhanahu waTa'ala dan RasulNya, ini tidak
serta merta berarti derajat istri lebih rendah atau ini merupakan
perendahan kepada wanita, tidak demikian karena pada prinsipnya hak
dan kewajiban dalam rumah tangga adalah setara dan sebanding
sebagaimana telah penulis singgung dalam makalah sebelumnya, akan
tetapi ini hanyalah pengaturan dan penempatan masing-masing dari suami
dan istri pada pos yang memang sesuai dan sejalan dengan tabiat dan
fitrah masing-masing, tidak mungkin dalam satu kapal ada dua nahkoda
dan tentu yang paling pantas menjadi nahkoda adalah orang yang
memiliki kriteria dalam kadar lebih untuk itu, dan ini ada pada diri
suami.
Di samping itu ketaatan dan kepatuhan istri tidak berbuah cuma-cuma,
ada imbalan besar lagi utama yang disediakan atasnya sebagai
pendorong, akan tetapi buah dan imbalan besar ini hanya bisa dipetik
oleh istri-istri yang beriman dengan baik kepada Allah Subhanahu
waTa'ala yang dengannya dia lebih mementingkan apa yang ada di sisiNya
daripada selainnya.
Ketaatan kepada suami adalah salah satu kunci masuk surga.
Setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan tidak terkecuali istri
tentu berharap bisa meraih surga, kebahagiaan abadi yang tidak akan
pernah terputus untuk selama-lamanya, oleh karena itu dia akan
berusaha menelusuri setiap jalan yang bisa menyampaikannya kepadanya
dan jalan ke sana memang banyak, salah satunya secara khusus untuk
istri yaitu ketaatannya kepada suaminya.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila seorang wanita
menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga
kehormatannya dan mentaati suaminya niscaya dia akan masuk surga dari
pintu mana saja yang dia inginkan." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Adakah balasan yang lebih besar dan utama dari ini? Masuk surga, tidak
sebatas itu akan tetapi lebih dari itu, dari pintu mana saja yang dia
kehendaki. Belum cukuplah hal ini menggugah dan mendorongmu untuk taat
dan patuh kepada suamimu?
Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari al-Husain bin Mihshan bahwa
bibinya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk suatu
keperluan, setelah dia selesai dari keperluannya, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bertanya kepada bibi al-Husain, "Apakah kamu
bersuami?" Dia menjawab, "Ya." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bertanya, "Bagaimana dirimu terhadapnya?" Dia menjawab, "Saya tidak
melalaikannya kecuali jika saya tidak mampu." Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Lihatlah dirimu daripadanya,
karena dia adalah surga dan nerakamu." Wallahu a'lam.
(Ust. Izzudin Karimi, Lc)
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber
Rabu, 26 Mei 2010
TAATILAH SUAMIMU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar